Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

CERPEN: Garis Tuhan

Hari ini cuaca berbanding terbalik dengan keadaanmu. Lihatlah, mentari bersinar cerah seolah mengajak  penghuni bumi agar mengawali aktivitas dengan semangat empat-lima. Sedang engkau, ah ... malah bermuram durja. Coba nikmati angin yang 'ngadalingding'--kalau kata orang Sunda--mengembuskan wangimu ke udara. Bukankah hari ini masih hari spesialmu?

"Hai, Am, apa kabarmu hari ini?" Sosok yang beberapa hari kau kenali itu datang menghampiri, lantas mengecupmu.

"Hai, La, baik," jawabmu singkat. 

"Kau mengatakan baik, tapi dari nadamu itu tampak sebaliknya," katanya, masih dengan wajah bersahabat.

"Ada apa kau menemuiku?"

"Oi, kau tak suka aku datang lagi?" La terperanjat, "Bukankah sudah menjadi tugasku melakukan ritual selama masa istimewamu ini?"

"Astaga, aku merasa linglung! Maafkan aku, Luci," katamu lirih. Begitulah, kadang kau memanggil si La dengan nama asingnya--Luci. Menurutmu sebutan Luci itu terdengar keren ketimbang  La. Padahal teman barumu ini lebih tenar disapa si La.

"Tak apa, Am...." Bibir agak manyunnya melukis senyum. "Kau masih saja mempesona dan...." La sepertinya sengaja membuat kau penasaran dengan menggantung ucapannya itu.

"Dan apa, Luci?"

Benarkan, kau memang penasaran.

"Wangi."

Hening. La terlihat tegang menunggu reaksimu.

"Hahahaha ...," Kau tertawa meledak, tubuhmu pun ikut berguncang.

Raut muka La menekuk. "Kenapa, Am? Apa ucapanku salah?"

"Tidak, aku hanya--"

"Jadi kau tak suka aku berkata jujur?" potong La, "Am ... huft ...!" Ia membuang napas, hendak berkata sesuatu padamu, namun urung.

"Apa?" Lagi-lagi kau dibuat penasaran. Sosok yang lebih kecil darimu itu  rupanya senang memancing rasa ingin tahu lawan bicaranya.

"Lupakan saja, Am!" katanya dengan senyum yang dipaksakan.

Beberapa saat tak ada percakapan di antara kalian. Kau hanyut dengan pikiranmu. Begitu pun dengan La, menengadah, memerhatikan daun-daun yang berjatuhan, tertiup angin dan menerbangkannya entah ke mana. Beberapa helai mendarat di tubuhmu.

Desau angin ibarat melodi yang mengalun lembut namun menyayat perasaan, mencuatkan kembali konflik batin yang telah sekian waktu kau pendam.


"Pantaskah aku merindukan dia?" Ucapan itu meluncur begitu saja. "Salahkah jika aku terus menunggunya?"

"Apa? Dia siapa?" tanya La. Pandangannya menyapu sekitar. 

Tampaknya, La menemukan "dia" yang kau maksud. Ya, kata-katamu tadi meluncur karena kau melihat dia melintas beberapa meter dari tempatmu. Suara khasnya ... oh, merdu. Kau amat merindukannya bukan?

Tapi, sedetik pun ia tak melirik dirimu, cuek bebek.


"Oh, si Api maksudmu, Am?" tebak La dingin.

Kau tak menanggapi si La, malah meracau--menumpahkan segala keluh-kesah pada temanmu, "Luci, apa aku tak menarik? Apa diriku tidak cantik? Transparankah aku? Tiap hari dia berlalu-lalang namun tak pernah singgah. Ah, jangankan singgah, 'say hai' pun tidak."

Kau teramat merindukannya, tapi rasa itu bercampur dengan kekecewaan pula. Bagaimana kau tidak tergila-gila? Menurut kabar yang beredar, ia sosok yang santun, berbudi luhur, ketika singgah di ranting sekalipun, dia tak akan mematahkannya. Berkali-kali dirimu mencoba memikat si Api dengan cara menebar wangi lewat angin. Nihil. Lagi-lagi yang terperdaya si La. 

La tertegun mendengar ocehanmu seperti panjangnya gerbong kereta, lantas menjawab, "Am, kau itu menarik, cantik, mempesona. Bukankah sudah kukatakan tadi? Bahkan  segelintir orang rela menanti hanya untuk menyaksikan dan menyesap aroma di masa spesialmu ini. Kau istimewa, Am!"

"Lalu mengapa Api lebih terpikat oleh mereka?" temanmu ini paham 'mereka' yang kau maksud.

"Genk cantik itu memang lebih unyu, dan memikat bagi Api," tukas La.

"Aku iri mendengar gelak-tawa genk cantik itu ketika Api menari di antara mereka, mengecup mereka satu persatu. Tidakkah dia tahu, diriku cembokur (baca: cemburu)!"

Sepertinya La mulai jemu mendengar keluhmu. Ia membuang napas berat.

"Kau tak mengerti, Am...."

Tak terima, engkau pun menyela, "Yang tak paham itu kau, Luci. Aku mohon, sebelum pesona diri ini hilang, katakan pada Api datanglah kemari, menari dan bernyanyi untukku!"

"Tidak, Am." 

"Kenapa?" Suaramu meninggi.

"Kau bukan selera si Api."

Jleb! Betapa menohok ucapannya itu. Perasaanmu serasa dikuliti. Mungkin adegan ini pas sekali diiringi musik yang menegangkan macam di sinetron-sinetron.

"Tega sekali kau mengatakan itu, Luci!"

"Itu fakta, Am!" Tampaknya La sudah hilang kesabaran. "Kau kira aku tidak cembokur?! Kau memuji si Api, padahal aku yang selalu bersamamu." Ia menjeda ucapannya, lalu, 

"seperti apa pun kau memikatnya, dia tak akan menyukaimu."

Mendengus sebal, seolah mengejek apa yang dikatakan La. Am, kau keras kepala ternyata.

"Ketahuilah, Tuhan tak menggariskan Api untuk mewarnai hidupmu. Tapi jangan khawatir, aku akan ada untuk dirimu," ujar La lembut. 

Akhirnya kalian terdiam. Beberapa saat hanya isakanmu yang terdengar. Dengan lirih kau berkata, "T-tapi, aku mengharapkannya, L-Luci...."

"Alamaaak!" Si La menepuk kepala. "Sadarlah, Am! Kau tak beda seperti pungguk merindui rembulan. Sekali-kali berkacalah! Kau Amorphophallus titanum, si Bunga Bangkai tidak berjodoh dengan Apis Cerana, si Lebah Madu," pungkas  Lucilia sericata, si Lalat Hijau. Lalu, dia terbang meninggalkanmu yang tergugu.

Am ... Am, andai kau punya akun sosial media, Facebook misalnya, mungkin kerjamu stalking akun si Apis untuk menyalurkan kerinduan macam manusia abad 21. Gahgahgah :'v


Tasikmalaya, 16 Dzulqo'dah 1436 H/ 30 Agustus 2015

*

NB:

Cembokur: pinjem istilah dari Kak Diana Dee [gahgahgah :v ]

Ngadalingding: harum semerbak/ tercium harum terbawa angin.

Genk cantik: Sekumpulan bunga

#CMIIW


NB 2: 

Ini cerpen masa lalu saya. Saat itu sedang belajar menggunakan POV 2, agak sulit karena pasti akan bertebaran kata "kamu" "kau" dan "mu". Well, setelah 6 tahun berlalu saya rasa cerita ini agak kocak, dan saya dibuat ngakak di tahun 2021. Rasanya segala hal tentang masa lalu seakan lucu dan membuat malu, jika dipikirkan saat ini.

Terima kasih telah bersedia meluangkan waktu untuk membaca! 😁🙏


Posting Komentar untuk "CERPEN: Garis Tuhan"